Penulis: Mukhamad Fatkhan*
Perjalanan pendidikan karakter di
Indonesia mengalami pasang surut. Ibarat fatamorgana disiang hari, pendidikan
karakter terasa sangat dibutuhkan namun kurang mendapat perhatian dan pengakuan.
Kaum praktisi pendidikan dan para orang tua seolah mengalami dilematis akut saat
dihadapkan pada pilihan antara nilai karakter dan angka capaian kompetensi mata
pelajaran. Saat ini, orang cenderung beranggapan bahwa moral lebih penting dari
pintar, walaupun kenyataannya anak yang pintar lebih mendapat tempat di lingkungan
sekolah, keluarga dan masyarakat. Kepintaran seolah menjadi patokan tinggi
rendahnya derajat manusia, jauh di atas moral. Berbagai kompetisi seringkali
menjadi ajang adu kepintaran, tanpa mempertimbangkan moral sebagai sesuatu yang
mendasar dan berharga pada anak. Kehadiran kurikulum K-13 melalui Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) yang digadang dapat merubah paradigma pendidikan
untuk lebih berdimensi pada nilai dan karakter, nampaknya masih stagnan. Sehingga
sampai sekarang kualitas pendidikan kembali seperti semula, yaitu lebih
berorientasi pada kepintaran semata. Nilai dan karakter seolah hanya sebagai
penunjang dari ketercapaian nilai kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran. Padahal
jika diperhatikan, ada beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai
akibat merosotnya nilai karakter. Mulai dari peristiwa yang menimpa Mbah Trimah
saat dipanti jompokan ketiga anaknya, pelecehan oleh dekan terhadap mahasiswa
yang terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri, sampai pada kebiasaan
korupsi dan berbohong yang kini sudah mulai membudaya. Parahnya, semua itu
dilakukan oleh orang-orang pintar dan berpendidikan, bahkan diantaranya
bergelar akademik.
Semestinya pendidikan dapat memperbaiki peristiwa
ketidakbermoralan semacam itu, karena menurut Ki Hajar Dewantara (1936),
pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat.
Hal ini bermakna bahwa baik buruknya budaya masyarakat mencerminkan kualitas
pendidikan yang ada. Guru dalam segala kelebihan dan kelemahannya, suka maupun
tidak, harus mampu merubah budaya buruk yang ada, tanpa harus mempertimbangkan
kualitas karakter dirinya sendiri. Sebab guru sudah terlanjur dipandang sebagai
orang yang dapat memberikan keteladanan dalam masyarakat. Lumpkin dalam Modul
1.2 Pendidikan Guru Penggerak (2021), menyatakan bahwa guru dengan karakter
baik akan mengajarkan muridnya mengambil keputusan melalui pertimbangan moral.
Guru dengan karakter baik mampu melestarikan nilai kebaikan di tengah
masyarakat melalui murid-muridnya. Dalam memperlakukan muridnya, guru hendaknya
benar-benar berpihak pada anak. Sebagai fasilitator, guru harus mampu
menebalkan laku anak berdasarkan kekuatan konteks pada diri anak, sebab menurut
Ki Hajar Dewantara (1936), anak bukan kertas kosong yang bisa digambar sesuai
keinginan orang dewasa (bukan tabularasa). Setiap anak terlahir dengan kekuatan
kodrat yang masih samar, tugas guru adalah menuntun (memfasilitasi/membantu)
anak untuk menebalkan/memperbaiki lakunya sesuai dengan kodrat yang ada. Itulah
makna dari proses pendidikan yang sebenarnya. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Ki
Hajar Dewantara (1936:1), bahwa maksud pendidikan itu adalah menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang tinggi, baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Jadi
kesimpulannya, pendidikan tidak hanya mencetak anak menjadi pintar, akan tetapi
juga berkarakter agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam
kehidupannya. Pendidikan yang berorientasi pada kepintaran semata, tanpa
menumbuhkan moral, sebenarnya tidak sejalan dengan folosofi pendidikan Ki Hajar
Dewantara, yang relevansinya tidak saja untuk diterapkan, tapi masih berlaku dan
menjadi kebutuhan hingga masa mendatang untuk menjaga budaya luhur bangsa.
Dalam menuntun laku anak, guru harus
dapat memberikan kebebasan kepada anak untuk belajar dan berpikir, sambil tetap
menjaganya agar tidak kehilangan arah. Semangat inilah yang kemudian menjadi
tema kebijakan pendidikan saat ini, yaitu Merdeka Belajar. Semangat yang sedang
dicanangkan ini sebagai penguatan terhadap tujuan pendidikan nasional yang
telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3, dengan ujung tombak sebuah pedoman
untuk pendidikan Indonesia, yaitu Profil Pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila
berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter berdasarkan
nilai-nilai Pancasila (Kemendikbud, 2020). Pelajar ini diharapkan memiliki enam
dimensi secara utuh sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, yaitu: beriman,
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; mandiri;
bergotong-royong; berkebinekaan global; bernalar kritis; dan kreatif (Modul 1.2
Pendidikan Guru Penggerak, 2021). Untuk mencapai hal ini, tentunya bukan hal
yang mudah. Guru harus terlebih dulu mengenali, menjalankan dan menumbuhkan
profil pelajar Pancasila ini dalam dirinya sendiri, agar mampu menuntun anak dalam
menumbuhkan berbagai nilai dan karakter yang dijabarkan. Selain itu, untuk
mewujudkan profil pelajar Pancasila ini, dibutuhkan guru yang memiliki
keterampilan dan kompetensi sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan,
yaitu: menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi
coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, serta mampu mewujudkan
kepemimpinan murid. Guru juga harus memiliki nilai mandiri, reflektif,
kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid sebagai penunjang atas segala tindakan
yang dilakukan di sekolah. Kompetensi dan nilai tersebut oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dirangkum dan dijelaskan secara rinci dalam peran dan
nilai Guru Penggerak. Dengan kata lain, untuk mencetak profil pelajar berkarakter
Pancasila melalui Merdeka Belajar, guru harus memahami peran dan nilai Guru
Penggerak. Dan sebagai bentuk penguatan terhadap pencapaian pemahaman tersebut,
seorang guru hendaknya selalu belajar sepanjang hayat tanpa batas ruang dan waktu,
berpikir terbuka atau open minded, serta mempunyai ketahanan emosi yang
kuat terhadap kegagalan atau resilience (hasil diskusi mandiri kelompok
1, kelas 66, Calon Guru Penggerak Angkatan 4 Kabupaten Pasuruan pada sesi
daring ruang kolaborasi nilai dan peran Guru Penggerak, modul 1.2).
Untuk menumbuhkan karakter siswa berdasarkan nilai-nilai Pancasila, banyak hal yang dapat dilakukan oleh guru selaku pemimpin pembelajaran di kelas, salah satunya melalui kegiatan pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan konsisten. Pembiasaan dapat diartikan sebagai proses membuat seseorang menjadi terbiasa (Arief, 2002:110). Inti dari pembiasaan adalah pengulangan yang sangat efektif digunakan karena dapat melatih kebiasaan yang baik pada anak (Fadillah dan Khorida, 2013:173). Untuk menunjang kegiatan pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, guru dapat berkolaborasi dengan orang tua siswa, rekan sejawat, dan kepala sekolah. Berikut ini tiga aksi nyata sederhana dan bermakna, yang dapat dilakukan oleh guru untuk mencetak profil pelajar Pancacila dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia:
1. Berbaris sebelum Masuk
Kelas
Berbaris sebelum masuk kelas merupakan kegiatan
yang dapat menumbuhkembangkan akhlak pribadi dan akhlak sosial. Dengan kegiatan
ini, secara pribadi anak akan dapat mempersiapkan dirinya secara fisik dan
psikis untuk mengikuti pelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Anak akan
terlatih untuk tanggap terhadap perintah dan intruksi yang diterimanya melalui
aba-aba sang pemimpin barisan. Hal ini juga dapat melatih jiwa korsa anak melalui
kekompakan gerakan dengan temannya, seperti: siap, lencang depan, periksa
kerapian, serta mampu meluruskan barisan dengan anak yang ada di depannya.
Secara sosial (akhlak kepada sesama manusia), anak dilatih untuk antri dan
menghargai teman yang bertugas menjadi pemimpin barisan. Tanpa adanya latihan
seperti ini, anak biasanya sulit untuk menghargai temannya sendiri, terutama
kepada yang lebih mudah atau lebih kecil secara fisik dengannya. Anak akan
dapat menghargai keunikan temannya tanpa memandang fisik dan unsur lain dengan
kegiatan pembiasaan ini. Jadi, baris sebelum masuk kelas merupakan salah satu
latihan yang dapat ‘menebalkan’ laku/integritas sang anak.
2. Mencuci Tangan sebagai
Kenormalan Baru
Pembiasaan mencuci tangan sebelum masuk kelas
merupakan bagian dari penumbuhan akhlak bernegara. Dimasa pandemi covid-19 ini,
kegiatan 5M, yang salah satunya mencuci tangan merupakan kewajiban yang harus
ditaati oleh setiap warga negara guna memutus persebaran covid-19. Bapak
Presiden Republik Indonesia selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, serta
Satuan Tugas (satgas) covid-19, mulai tingkat pusat hingga desa, seringkali
mengintruksikan untuk tidak kendor dalam menjaga kesehatan melalui kegiatan
memakai masker dan mencuci tangan ini. Dan sebagai warga negara yang baik
hendaknya setiap orang mematuhi intruksi tersebut, termasuk siswa. Menjaga
kebersihan dan kesehatan melalui pembiasaan cuci tangan harus menjadi kegiatan
yang masif dan terstruktur, karena selain untuk pembiasaan perilaku hidup bersih
dan sehat, menjaga kebersihan merupakan bagian dari iman.
3. Berdoa Sebelum
Pelajaran
Berdoa sebagai bagian dari ajaran
agama/kepercayaan, merupakan kegiatan untuk menumbuhkan pemahaman terhadap
agama/kepercayaan. Berdoa untuk mendapatkan kelancaran selama proses belajar,
dan memohon keberkahan serta kemanfaatan dari ilmu yang diperoleh, juga
merupakan bentuk kecintaan dan kepasrahan seseorang selaku hamba yang senantiasa
butuh terhadap Tuhannya. Pembiasaan berdoa bertujuan untuk menumbuhkan akhlak
beragama pada diri anak. Anak yang terbiasa berdoa sebelum beraktivitas, cenderung
lebih bahagia secara emosional.
_________
*) Guru SDN Jimbaran I Puspo, CGP Angkatan 4 Kabupaten Pasuruan, Disusun untuk Memenuhi Tugas 1.2.a.9. Koneksi Antar Materi – Nilai dan Peran Guru Penggerak
Lebih penting moral daripada pintar
BalasHapusSetuju Pak, semoga konsisten terus. . .
BalasHapusSemangat!!!
Fotonya bagus
BalasHapusbetulll, sangat setuju sekali
BalasHapusSama pentingnya, tapi lebih penting moral
BalasHapusBetul pak, semoga kami bisa menerapkan secara konsisten di lembaga kami
BalasHapusAktivitas sederhana tapi bermakna, lanjutkan...
BalasHapusKeren,muantap 👍
BalasHapusMasuk bang, biar kita gak id generasi gamers...
BalasHapusMantappu jiwa👍
BalasHapusSaya setuju pak, muantap!!
BalasHapusJimbaran Puspo ya itu lokasi nya? Wahhh...., sip
BalasHapusMantap👍
BalasHapus