JANGAN REMEHKAN! KEGIATAN PEMBIASAAN SECARA KONSISTEN MAMPU TUMBUHKAN DIMENSI PROFIL PELAJAR PANCASILA - TUNASBAKTI

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 18 November 2021

JANGAN REMEHKAN! KEGIATAN PEMBIASAAN SECARA KONSISTEN MAMPU TUMBUHKAN DIMENSI PROFIL PELAJAR PANCASILA

Penulis: Mukhamad Fatkhan*

Perjalanan pendidikan karakter di Indonesia mengalami pasang surut. Ibarat fatamorgana disiang hari, pendidikan karakter terasa sangat dibutuhkan namun kurang mendapat perhatian dan pengakuan. Kaum praktisi pendidikan dan para orang tua seolah mengalami dilematis akut saat dihadapkan pada pilihan antara nilai karakter dan angka capaian kompetensi mata pelajaran. Saat ini, orang cenderung beranggapan bahwa moral lebih penting dari pintar, walaupun kenyataannya anak yang pintar lebih mendapat tempat di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Kepintaran seolah menjadi patokan tinggi rendahnya derajat manusia, jauh di atas moral. Berbagai kompetisi seringkali menjadi ajang adu kepintaran, tanpa mempertimbangkan moral sebagai sesuatu yang mendasar dan berharga pada anak. Kehadiran kurikulum K-13 melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digadang dapat merubah paradigma pendidikan untuk lebih berdimensi pada nilai dan karakter, nampaknya masih stagnan. Sehingga sampai sekarang kualitas pendidikan kembali seperti semula, yaitu lebih berorientasi pada kepintaran semata. Nilai dan karakter seolah hanya sebagai penunjang dari ketercapaian nilai kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran. Padahal jika diperhatikan, ada beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai akibat merosotnya nilai karakter. Mulai dari peristiwa yang menimpa Mbah Trimah saat dipanti jompokan ketiga anaknya, pelecehan oleh dekan terhadap mahasiswa yang terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri, sampai pada kebiasaan korupsi dan berbohong yang kini sudah mulai membudaya. Parahnya, semua itu dilakukan oleh orang-orang pintar dan berpendidikan, bahkan diantaranya bergelar akademik.

 

Siswa Berbaris di Depan Kelas (Foto: Elok Dwi)

Semestinya pendidikan dapat memperbaiki peristiwa ketidakbermoralan semacam itu, karena menurut Ki Hajar Dewantara (1936), pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Hal ini bermakna bahwa baik buruknya budaya masyarakat mencerminkan kualitas pendidikan yang ada. Guru dalam segala kelebihan dan kelemahannya, suka maupun tidak, harus mampu merubah budaya buruk yang ada, tanpa harus mempertimbangkan kualitas karakter dirinya sendiri. Sebab guru sudah terlanjur dipandang sebagai orang yang dapat memberikan keteladanan dalam masyarakat. Lumpkin dalam Modul 1.2 Pendidikan Guru Penggerak (2021), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik akan mengajarkan muridnya mengambil keputusan melalui pertimbangan moral. Guru dengan karakter baik mampu melestarikan nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-muridnya. Dalam memperlakukan muridnya, guru hendaknya benar-benar berpihak pada anak. Sebagai fasilitator, guru harus mampu menebalkan laku anak berdasarkan kekuatan konteks pada diri anak, sebab menurut Ki Hajar Dewantara (1936), anak bukan kertas kosong yang bisa digambar sesuai keinginan orang dewasa (bukan tabularasa). Setiap anak terlahir dengan kekuatan kodrat yang masih samar, tugas guru adalah menuntun (memfasilitasi/membantu) anak untuk menebalkan/memperbaiki lakunya sesuai dengan kodrat yang ada. Itulah makna dari proses pendidikan yang sebenarnya. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Ki Hajar Dewantara (1936:1), bahwa maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tinggi, baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Jadi kesimpulannya, pendidikan tidak hanya mencetak anak menjadi pintar, akan tetapi juga berkarakter agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Pendidikan yang berorientasi pada kepintaran semata, tanpa menumbuhkan moral, sebenarnya tidak sejalan dengan folosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang relevansinya tidak saja untuk diterapkan, tapi masih berlaku dan menjadi kebutuhan hingga masa mendatang untuk menjaga budaya luhur bangsa.

 

Siswa Berdoa Bersama (Foto: M. Fatkhan)

Dalam menuntun laku anak, guru harus dapat memberikan kebebasan kepada anak untuk belajar dan berpikir, sambil tetap menjaganya agar tidak kehilangan arah. Semangat inilah yang kemudian menjadi tema kebijakan pendidikan saat ini, yaitu Merdeka Belajar. Semangat yang sedang dicanangkan ini sebagai penguatan terhadap tujuan pendidikan nasional yang telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3, dengan ujung tombak sebuah pedoman untuk pendidikan Indonesia, yaitu Profil Pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Kemendikbud, 2020). Pelajar ini diharapkan memiliki enam dimensi secara utuh sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, yaitu: beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; mandiri; bergotong-royong; berkebinekaan global; bernalar kritis; dan kreatif (Modul 1.2 Pendidikan Guru Penggerak, 2021). Untuk mencapai hal ini, tentunya bukan hal yang mudah. Guru harus terlebih dulu mengenali, menjalankan dan menumbuhkan profil pelajar Pancasila ini dalam dirinya sendiri, agar mampu menuntun anak dalam menumbuhkan berbagai nilai dan karakter yang dijabarkan. Selain itu, untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila ini, dibutuhkan guru yang memiliki keterampilan dan kompetensi sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan, yaitu: menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, serta mampu mewujudkan kepemimpinan murid. Guru juga harus memiliki nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid sebagai penunjang atas segala tindakan yang dilakukan di sekolah. Kompetensi dan nilai tersebut oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dirangkum dan dijelaskan secara rinci dalam peran dan nilai Guru Penggerak. Dengan kata lain, untuk mencetak profil pelajar berkarakter Pancasila melalui Merdeka Belajar, guru harus memahami peran dan nilai Guru Penggerak. Dan sebagai bentuk penguatan terhadap pencapaian pemahaman tersebut, seorang guru hendaknya selalu belajar sepanjang hayat tanpa batas ruang dan waktu, berpikir terbuka atau open minded, serta mempunyai ketahanan emosi yang kuat terhadap kegagalan atau resilience (hasil diskusi mandiri kelompok 1, kelas 66, Calon Guru Penggerak Angkatan 4 Kabupaten Pasuruan pada sesi daring ruang kolaborasi nilai dan peran Guru Penggerak, modul 1.2).

Untuk menumbuhkan karakter siswa berdasarkan nilai-nilai Pancasila, banyak hal yang dapat dilakukan oleh guru selaku pemimpin pembelajaran di kelas, salah satunya melalui kegiatan pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan konsisten. Pembiasaan dapat diartikan sebagai proses membuat seseorang menjadi terbiasa (Arief, 2002:110). Inti dari pembiasaan adalah pengulangan yang sangat efektif digunakan karena dapat melatih kebiasaan yang baik pada anak (Fadillah dan Khorida, 2013:173). Untuk menunjang kegiatan pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, guru dapat berkolaborasi dengan orang tua siswa, rekan sejawat, dan kepala sekolah. Berikut ini tiga aksi nyata sederhana dan bermakna, yang dapat dilakukan oleh guru untuk mencetak profil pelajar Pancacila dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia:

 

Siswa Antri Mencuci Tangan (Foto: M. Fatkhan)

1.    Berbaris sebelum Masuk Kelas

Berbaris sebelum masuk kelas merupakan kegiatan yang dapat menumbuhkembangkan akhlak pribadi dan akhlak sosial. Dengan kegiatan ini, secara pribadi anak akan dapat mempersiapkan dirinya secara fisik dan psikis untuk mengikuti pelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Anak akan terlatih untuk tanggap terhadap perintah dan intruksi yang diterimanya melalui aba-aba sang pemimpin barisan. Hal ini juga dapat melatih jiwa korsa anak melalui kekompakan gerakan dengan temannya, seperti: siap, lencang depan, periksa kerapian, serta mampu meluruskan barisan dengan anak yang ada di depannya. Secara sosial (akhlak kepada sesama manusia), anak dilatih untuk antri dan menghargai teman yang bertugas menjadi pemimpin barisan. Tanpa adanya latihan seperti ini, anak biasanya sulit untuk menghargai temannya sendiri, terutama kepada yang lebih mudah atau lebih kecil secara fisik dengannya. Anak akan dapat menghargai keunikan temannya tanpa memandang fisik dan unsur lain dengan kegiatan pembiasaan ini. Jadi, baris sebelum masuk kelas merupakan salah satu latihan yang dapat ‘menebalkan’ laku/integritas sang anak.

 

2.    Mencuci Tangan sebagai Kenormalan Baru

Pembiasaan mencuci tangan sebelum masuk kelas merupakan bagian dari penumbuhan akhlak bernegara. Dimasa pandemi covid-19 ini, kegiatan 5M, yang salah satunya mencuci tangan merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh setiap warga negara guna memutus persebaran covid-19. Bapak Presiden Republik Indonesia selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, serta Satuan Tugas (satgas) covid-19, mulai tingkat pusat hingga desa, seringkali mengintruksikan untuk tidak kendor dalam menjaga kesehatan melalui kegiatan memakai masker dan mencuci tangan ini. Dan sebagai warga negara yang baik hendaknya setiap orang mematuhi intruksi tersebut, termasuk siswa. Menjaga kebersihan dan kesehatan melalui pembiasaan cuci tangan harus menjadi kegiatan yang masif dan terstruktur, karena selain untuk pembiasaan perilaku hidup bersih dan sehat, menjaga kebersihan merupakan bagian dari iman.


3.    Berdoa Sebelum Pelajaran

Berdoa sebagai bagian dari ajaran agama/kepercayaan, merupakan kegiatan untuk menumbuhkan pemahaman terhadap agama/kepercayaan. Berdoa untuk mendapatkan kelancaran selama proses belajar, dan memohon keberkahan serta kemanfaatan dari ilmu yang diperoleh, juga merupakan bentuk kecintaan dan kepasrahan seseorang selaku hamba yang senantiasa butuh terhadap Tuhannya. Pembiasaan berdoa bertujuan untuk menumbuhkan akhlak beragama pada diri anak. Anak yang terbiasa berdoa sebelum beraktivitas, cenderung lebih bahagia secara emosional.

 _________

*) Guru SDN Jimbaran I Puspo, CGP Angkatan 4 Kabupaten Pasuruan, Disusun untuk Memenuhi Tugas 1.2.a.9. Koneksi Antar Materi – Nilai dan Peran Guru Penggerak
**) Artikel ini juga disusun untuk memenuhi Tugas 1.4.a.10 Aksi Nyata Budaya Positif di Kelas

13 komentar:

Post Top Ad

Responsive Ads Here