Penulis: Mukhamad Fatkhan*
Tantangan kehidupan global dewasa ini menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sekitar. Hal ini terlihat dari rendahnya guyub masyarakat pedesaan yang tidak lagi seperti dulu. Kehidupan mereka kini lebih liberal layaknya kaum metropolitan. Bahkan tidak saling kenal dengan tetangga yang merupakan ciri umum masyarakat perkotaan, kini mulai nampak dalam kehidupan masyarakat desa. Hal ini tentunya menjadi teguran bagi dunia pendidikan kita pada masa sekarang.
Pendidikan yang menurut Ki Hajar Dewantara merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat, seolah menjadi kambing hitam yang bisa saja disalahkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab seiring dengan merosotnya nilai-nilai budaya tepa selira, mengingat baik buruknya kebudayaan menjadi cermin bagi kualitas mutu pendidikan. Akibatnya guru yang notabene bukan manusia super dituntut untuk bisa memperbaiki keadaan yang ada. Sebab guru adalah garda terdepan yang bertugas mentransformasi pengetahuan serta budi pekerti kepada siswa.
Pada kegiatan pembelajaran di dalam kelas, guru dituntut untuk mampu menyampaikan materi pelajaran kepada siswa agar dapat naik kelas, tentunya dengan metode pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Guru harus mampu membuat dan memilih media pembelajaran agar apa yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh siswa. Beberapa guru ada yang berinovasi dalam memilih media belajar dengan menjadikan lingkungan sekitar siswa sebagai sumber belajar, akan tetapi tidak jarang seorang guru rela merogoh kocek untuk membeli media pembelajaran kepada pihak lain demi sang siswa, tanpa memikirkan efektifitas penggunaan media pembelajaran tersebut. Setiap akhir pembelajaran, guru harus mampu melakukan evaluasi. Guru dituntut untuk dapat melakukan perbaikan dari tes siswa dengan nilai di bawah KKM, dan pengayaan bagi yang memperoleh nilai di atas KKM. Guru juga dituntut untuk dapat menumbuhkan karakter dan kepribadian siswa agar paham terhadap norma-norma kehidupan bermasyarakat sebagai dampak pengiring dari pembelajaran yang telah dilakukan.
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yang harus berpihak pada anak sepenuhnya. Menurut Ki Hajar Dewantara, 1922 “pendidikan yang berpihak pada anak bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, bukan untuk meminta suatu hak, melainkan untuk berhamba pada sang anak” (Asas Taman Siswa ke-7, diparafrasakan Profesor Sardjito, Rektor UGM di penganugerahan Doktor Honoris Causa kepada Ki Hajar Dewantara di bidang Ilmu Kebudayaan, Desember 1956). Pokoknya pendidikan harus terletak di dalam pangkuan ibu bapak karena hanya dua orang inilah yang dapat “berhammba pada sang anak” dengan semurni-murninya dan seikhlas-ikhlasnya, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas (Karya Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, halaman 382 – Buku Kuning). Hal ini tentunya menjadi pesan bagi guru bahwa dalam mendidik dan mengajar, harus memperlakukan siswa seperti anaknya sendiri agar terjalin ikatan emosional yang erat, yang dapat membuat siswa merasa nyaman dalam belajar. Guru hendaknya mampu mendesain kegiatan pembelajaran yang berpihak pada siswanya. Guru harus paham betul bahwa setiap anak yang lahir tidak seperti kertas kosong, melainkan sudah penuh dengan gambar yang masih samar-samar, dan tugas guru adalah menebalkan gambar yang samar tersebut. Setiap anak sudah memiliki kodrat alam, yaitu terlahir dengan keunikan, kelebihan, kekurangan, bakat dan minat masing-masing. Tugas guru adalah mengembangkan apa yang dimiliki anak sejak lahir tersebut tanpa mendikte sesuai keinginan guru. Dengan kata lain guru dilarang memaksakan kehendaknya kepada siswa. “Anak bukan kertas kosong yang bisa digambar sesuai keinginan orang dewasa”, teori Bukan Tabula Rasa (KHD: 1936, Dasar-dasar Pendidikan).
Pemikiran tentang berhamba pada anak tercetus dari penyesalan yang pernah dirasakan oleh Soewardi ketika menghadapi setumpuk pekerjaan yang belum selesai. Tangis Asti yang tiada henti dirasakan sebagai suatu hambatan yang mengganggu tugasnya. Lalu dengan serta merta diseretnya anak itu keluar, dan tanpa pikir panjang, dibiarkannya Asti kecil menangis dibalik hempasan pintu rumah. Salju yang berjatuhan di jendela tiba-tiba menyadarkan kekalutan pikirnya. Dia lari secepatnya, lalu dibukanya pintu... dan Asti sudah tampak biru, menggigil kedinginan. Soewardi menyesal, sangat menyesal. Sambil memeluk anaknya yang sedang tersenggal-senggal berurai air mata itu, terucaplah kata kasih sepenuh hati: “koe bakale dak mulya ake selawase” artinya: “selamanya engkau akan aku muliakan”. Tuhan mendengar kata hamba-Nya. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Asti tidak pernah dapat mengurus dirinya sendiri hingga sekarang: seluruh keluarga selalu berusaha untuk dapat melayani keperluannya. Pengalaman Soewardi menjadi salah satu teori pendidikan dalam perguruan yang dicita-citakan. (Irna H.N. Hadi Soewita, Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan, 2019:95-96).
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara memang top markotop untuk pendidikan di Indonesia
BalasHapusSemoga pendidikan Indonesia semakin maju💪
BalasHapusMantap
BalasHapus